Selasa, 07 Maret 2017

Analisis Ucapan Ahok Terkait Dugaan Penistaan Agama pada Surah Al-Maidah 51 Serta Kajian pada Bidang Filsafat



Nurul Hasanah
Mahasiswi Bahasa Inggris
Program Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang
(nurulhasanahmoslem@gmail.com)

Abstrak
Setelah viralnya pernyataan Ahok, “Dibohongi pakai surat al-Maidah 51 macam-macam,” dalam sebuah video, beberapa orang langsung mengkaji dari berbagai pendekatan, baik dari segi penafsiran, linguistik, wacana dan lain-lain.  Kejadiannya berlangsung saat kunjungannya di Kepulauan Seribu. Secara klasik, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama. Dihadirkan saksi dari JPU yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal. Dikaji dari bidang Filsafat maka akan memunculkan berbagai hal seperti dari aspek Epistemologi, Teori Kebenaran, Etika Dalam Dunia Ilmu, serta Tanggung Jawab Moral Keilmuan.

A.  Pendahuluan
1.  Latar Belakang
Kisruh yang menggelayut Penduduk DKI Jakarta jelang Pilkada DKI 2017, terlebih dengan munculnya kasus dugaan penghinaan terhadap Ayat Suci Al Qur’an yang dituduhkan kepada Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus menuai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Meski Ahok sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf, yang dikemukakannya di Balaikota, Jakarta, Senin (10/10/2016). Ahok sendiri sebenarnya sudah menyatakan jika dia tidak berniat melecehkan Islam saat menyampaikan Surah Al-Maidah ayat 51 didepan Warga Kepulauan Seribu tersebut.
Secara redaksional kebahasaan, ucapan Ahok belum tentu merujuk pada sebuah penghinaan. Ini lagi-lagi perlu pembuktian lebih lanjut. Terutama soal apakah kata “dibohongi” itu merujuk kepada Al Qur’an atau tidak. Pasalnya, hingga hari ini, penggunaan kata “pakai” dalam konteks pernyataan Ahok “Dibohongi pakai Al Maidah 51” masih menuai kontroversi. “Dan ini adalah fakta hukum yang tidak bisa dihindari.”Banyak pihak yang tak sabar menunggu proses hukum terkait kasus yang menimpa Ahok. Perkara ini meluas menjadi aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November 2016. Dia pun kerap ditolak oleh sekelompok orang saat berkampanye di beberapa wilayah Jakarta. Mereka menuntut agar polisi terus memproses hukum Ahok dengan tuduhan penistaan agama. Polisi pun terus menyelidiki kasus ini. Dari penjelasan di atas, penulis tertarik untuk menganalis ucapan Ahok terkait dugaan penistaan agama pada Surah Al-Maidah 51 serta kajian pada bidang Filsafat
2.      Rumusan Masalah

1.      Bagaimana analisis kasus Ahok ditinjau dari ucapannya terkait Surah Al- Maidah 51 yang diduga menistakan agama ?
2.      Apa Tafsir Al- Maidah 51 yang dikutip Ahok?
3.      Bagaimana kasus Ahok jika ditinjau dari para Saksi yang dihadirkan oleh JPU?
4.      Bagaimana kasus Ahok jika ditinjau dari bidang Filsafat?

3.  Tujuan
1. Menjelaskan analisis kasus Ahok ditinjau dari ucapannya terkait Surah Al- Maidah 51 yang diduga menistakan agama.
2.  Memahami mengenai Tafsir Al- Maidah 51 yang dikutip Ahok.
3. Menjelaskan para Saksi yang dihadirkan oleh JPU pada kasus Ahok.
4.  Menjelaskan kasus Ahok jika ditinjau dari bidang Filsafat.


B.  Pembahasan
1.      Analisis Ucapan Ahok Terkait Dugaan Penistaan Agama Pada Surah Al-Maidah 51
Setelah viralnya pernyataan Ahok, “Dibohongi pakai surat al-Maidah 51 macam-macam,” dalam sebuah video, beberapa orang langsung mengkaji dari berbagai pendekatan, baik dari segi penafsiran, linguistik, wacana dan lain-lain.  Lebih awal, penulis menjabarkan bahwa tulisan ini tidak mempersoalkan identitas agama Ahok. Walaupun sikap objektif itu adalah non-sense atau tidak mungkin ada, setidaknya memposisikan diri bukan pendukung calon pasangan pilkada DKI, bisa lebih menghindari fanatik subjektivitas.
Secara klasik, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama. Ia cuma mengingatkan masyarakat agar tidak terhasut atau terbodohi oleh akal bulus politik seperti itu yang menggunakan kitab suci dalam senjata politik. Jadi, yang sebenarnya licik itu bukan Ahoknya, tapi orang yang bawa-bawa agama demi persaingan politiknya. Kalo kita lihat sampai disini, dari sisi mananya pernyataan Ahok itu melecehkan atau menistakan agama?.
Jika kita membaca permasalahan tersebut dari sudut pandang hermeneutika, menyebar luasnya berita-berita Ahok yang katanya “mendustakan” agama, yang menyebabkan kesalahpahaman di kalangan khalayak ramai tersebut, tidak terlepas dari 3 faktor: Pertama, karena adanya pemanfaatan politik. Seperti yang telah diketahui sekarang sedang hangatnya persaingan politik menjadi orang nomor satu di Ibukota tersebut, pernyataan-pernyataan Ahok yang multi-tafsir tersebut dimanfaatkan oleh pasangan lain untuk menjatuhkan nama baik Ahok, yang mana pada saat ini dari hasil survei elektabilitas Ahok lebih unggul dari pasangan lain.
Kedua, kondisi psikologis Ahok yang semakin tertekan. Siapa yang tidak tertekan jika ia selalu disudutkan karena adanya perbedaan keyakinan dengan kaum mayoritas di negeri ini, dan hal itu menjadi senjata politik ampuh bagi para haters Ahok untuk menjatuhkannya. Padahal, yang perlu digarisbawahi adalah, negeri ini bukanlah negeri yang menganut paham khilafah yang sedang diperjuangkan oleh salah satu organisasi politik keagamaan di negeri ini, akan tetapi negeri ini masih menganut paham demokratis yang mana semua orang berhak untuk menjadi pemimpin.
Ketiga, Adanya penambahan dan pengurangan informasi oleh media. Informasi yang kita terima dari media sekarang ini masih perlu kita saring dan pilah pilih lagi, karena buruknya kualitas informasi dari media yang terkenal suka menayangkan berita-berita yang kontroversial dan tidak menyenangkan dengan melakukan pengurangan dan penambahan informasi yang menyebabkan para pemirsanya menjadi multi-tafsir bahkan salah paham. Di sisi lain, banyak juga unsur politik yang telah masuk dalam dunia pertelevisian Indonesia yang menyebabkan adanya kesenjangan dalam dunia politik di negeri ini, salah satu faktornya ialah karena beberapa media di negeri ini telah dikuasai oleh antek-antek penguasa di dunia partai politik.
Terlepas dari itu semua, memahami Al-Quran tidak bisa dikatakan sepele, perlu metodologi khusus agar kita dapat memahami maksud yang sebenarnya dari Al-Quran itu sendiri, salah satunya ialah dengan menganalisa sebab turunnya ayat tersebut, sehingga tidak terjadinya kesalahpahaman dalam pemaknaannya. Ayat Al-Quran itu unik, karena kalam Allah, sungguh sangat berbeda dengan buku-buku ciptaan manusia, sehingga dalam memahaminya kita harus secara komprehensif, karena bisa saja antara ayat yang satu dengan ayat yang lain memiliki hubungan atau bisa jadi sebagai penjelas/keterangan bagi ayat tersebut.
Jika kita memahami Al-Quran hanya dengan mengandalkan pemahaman sendiri atas dasar rasionalitas semata, itulah yang terjadi, saling menyalahkan dan saling menuduh. Alangkah baiknya dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tersebut kita berpegang kepada para ulama tafsir yang telah ahli dan memiliki ilmu yang cukup mumpuni dalam melakukan penafsiran Al-Quran. Dalam memahaminya juga tidak cukup dengan membaca satu penafsiran ulama saja, karena tafsir adalah sebuah produk yang bisa saja tafsir tersebut lahir sesuai konteks situasi dan kondisi pada masa penafsir tersebut, sehingga hasil dari tafsirannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu.
Alangkah baiknya jika kita memahami suatu ayat dalam Al-Quran tersebut dengan membaca berbagai macam kitab tafsir ulama yang telah memiliki kredibilitas dan kapabilitas, sehingga kita memiliki pemahaman yang banyak dan bervariasi, variasi tersebutlah yang membuat pemahaman kita terhadap ayat tersebut semakin dalam, karena variasi tersebut akan saling melengkapi pemahaman kita terhadap ayat Al-Quran, sehingga terbentuklah pemahaman komprehensif terhadap ayat tersebut.

2.      Tafsir Al-Maidah 51 yang Dikutip Ahok
Belakangan terakhir ini muncul berita cukup hangat yang penuh kontroversi. Siapa yang tidak tahu permasalahan itu, dari kalangan intelektual hingga masyarakat biasa yang tidak jarang memunculkan berbagai macam opini dan tafsiran dalam permasalahan tersebut. Pembicaraan mereka tidak lain dan tidak bukan ialah mengenai Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang “katanya” mendustakan salah satu ayat di dalam Al-Quran. Seperti diketahui, surat Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok diyakini sebagian orang sebagai ayat penolakan terhadap pemimpin kafir.  Berbicara soal pemimpin kafir, budayawan senior Emha Aiun Najib tidak setuju jika kafir dan Muslimnya seseorang dinilai seperti benda mati. “Status Muslim dan kafir itu dinamis (pada setiap orang), tidak bisa dinilai dengan ukuran statis,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini sembari menegaskan bahwa pendapatnya tidak ada kaitannya dengan Gubernur Ahok dan Pilgub DKI
Pandangan alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada hadist Nabi Saw yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari). Selain itu, lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak berdiri sendiri. Kafir kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau ingkar pada perintah Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah. Sebaliknya, jika ia berserah diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya orang yang ‘Muslim’ pada Iblis. “Hukum tidak mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,” kata penulis buku ‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum. Karena itu, menghakimi seseorang  bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat dari identitasnya, tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut Muslim bisa kafir kapan saja. Jika kita ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan moral seseorang. Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.
Selanjutnya, ada pendapat mengenai tafsir Surah Al-Maidah 51 menurut Prof. Quraish Shihab. Beliau menjelaskan bahwa tafsir ayat itu tidak sesederhana itu. Tafsir kata ‘awliya’ dalam ayat itu saja tidak sebatas pemimpin. Seperti diketahui, ayat dari Surah Al-Maidah yang kerap disebut sebagai dalil menolak ‘pemimpin kafir’ itu ialah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’; sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Benarkah ayat di atas menyerukan penolakan “pemimpin kafir?” Menurut pakar tafsir Al-Qur’an Prof. Quraish Shihab, ayat di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51 merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.
“Konsekuensi dari sikap orang yang memusuhi Al-Qur’an, enggan mengikuti tuntunannya…”
Pada ayat sebelumnya, Al-Qur’an diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab Taurat dan Injil akibat ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka – Yahudi dan Nasrani, enggan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, maka mereka berarti memberi  ‘peluang’ pada Allah untuk menjatuhkan siksa terhadap mereka karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Kemudian dilanjutkan oleh ayat 51 surat Al-Maidah. Kalau memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani – mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Qur’an, keinginannya mengikuti jahiliyah, – “Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya.”
Bagi Quraish Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. “Kalau begitu sifat-sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu apa sebenarnya?  ‘Awliya’ ialah jamak atau bentuk plural dari ‘wali’. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini, pada mulanya berarti “yang dekat”.  Karena itu, waliyullah juga bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah. “Dari sini, kata ‘wali’ yang jamaknya ‘awliya’ memiliki makna bermacam-macam.”
Yang jelas, kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam konteks hubungan antar manusia, berarti persahabatan yang begitu kental. “Dalam ayat ini, jangan angkat mereka –Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan pada ayat sebelumnya menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau membocorkan rahasia kepada mereka.”Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna pemimpin, kata Quraish Shihab. “Itu pun, sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan Allah dan hanya mau mengikuti tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.”

3.      Ditinjau dari Saksi yang Dihadirkan JPU
Sejak diputuskannya Ahok menjadi tersangka, tidak ada bukti kuat yang ditunjukkan pelapor di persidangan bahwa Ahok menistakan agama. Menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugoho, terminologi saksi adalah apa yang dilihat, didengar dan diketahui. Keempat saksi yang dihadirkan JPU, yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal semuanya tidak ada di tempat kejadian ketika Ahok melakukan Pidato yang dipermasalahkan. Bahkan, menurut Andi Analta Amir yang menjadi saksi dari Ahok dan mengikuti pengadilan langsung menjelaskan, bahwasanya saksi dari JPU banyak lupa dan ketika ditanya sumber video yang ditonton adalah video versi Buni Yani yang sudah jelas telah diedit dan bukan orisinil lagi.
Bagaimana mungkin, seseorang yang tidak ada di tempat ketika kejadian dan hanya menonton video yang sudah jelas diedit transkripnya menjadi saksi fakta. Jika merujuk pernyataan Hibnu Nugoho keempat saksi sudah dikatakan gugur. Belum lagi, ada beberapa saksi yang terkait dengan salah satu Ormas yang selama ini menentang Ahok. Jelas, ini merupakan kesumat pribadi. Jika kita merunut kronologi kasus Ahok, kita akan menemukan kejanggalan. Pertama, reaksi pendengar langsung pidato Ahok tidak ada yang protes. Padahal mayortitas masyarakat nelayan Pulau Pramuka adalah muslim. Kedua, dari tanggal 27 September 2016 sampai tanggal 6 Oktober 2016 yakni tanggal Ahok berpidato dan tanggal Buni Yani mengunggah postingannya, tidak ada gejolak apapun di masyarakat.
Namun, tuntutan terhadap penahanan Ahok begitu gencar dan seakan memaksakan. Banyak sekali ulama terkemuka Indonesia yang berseberangan dengan sikap MUI, misalnya Nashiruddin Umar. Imam Besar Istiqlal ini, menyatakan tidak ada penistaan jika berdasarkan konteks saat itu. Dalam Tafsir Ibnu katsir, menurutnya kata Auliyaai di surat Al-Maidah bermakna teman. Para penuntut Ahok lebih mengutamakan egoisitas pribadi. Mereka menafsirkan sendiri maksud Ahok sesuai dengan kemauannya. Mereka tidak pernah menanyakan terlebih dahulu tentang maksud perkataan yang dilontarkan Ahok sebagai pelaku. Padahal, Ahok masih hidup dan sehat dan siap mengklarifikasinya. Disamping itu, mereka tidak mempertimbangkan argumentasi dengan orang yang berbeda sikap.
Sepertinya, mereka para penuntut Ahok termasuk MUI memaksa kita untuk memahami pernyataan Ahok versi mereka. Secara tidak sadar, hak kita dalam memahami sesuatu, khususnya makna perkataan Ahok di Kepulauan Seribu telah diperkosa. Tanpa bukti yang jelas dan kuat mereka memaksa aparat untuk segera menahan Ahok. Seharusnya, semua tuntutan terhadap Ahok telah gugur dan Ahok segera dibebaskan demi keadilan.

4.      Kajian Filsafat Pada Kasus Ahok

1.      Epistemologi (Aliran Empiris)
Kata empiris berasal dari kata yunani empieriskos yang berasal dari kata empiria, yang artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena manusia menyentuhnya, gula manis karena manusia mencicipinya. Namun dalam koridor empirisme, pengetahuan yang berkelindan dengan kebenaran haruslah bersifat aposteriori atau “didahului pengalaman”. Dengan kata lain, tak terdapat bukti nyata yang terindera.
Pada kasus Ahok, keempat saksi yang dihadirkan JPU, yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal semuanya tidak ada di tempat kejadian ketika Ahok melakukan Pidato yang dipermasalahkan. Dengan kata lain, mereka tak memiliki bukti nyata yang terindera. Bahkan, menurut Andi Analta Amir yang menjadi saksi dari Ahok dan mengikuti pengadilan langsung menjelaskan, bahwasanya saksi dari JPU banyak lupa dan ketika ditanya sumber video yang ditonton adalah video versi Buni Yani yang sudah jelas telah diedit dan bukan orisinil lagi. Bagaimana mungkin, seseorang yang tidak ada di tempat ketika kejadian dan hanya menonton video yang sudah jelas diedit transkripnya menjadi saksi fakta. Jika merujuk pernyataan Hibnu Nugoho keempat saksi sudah dikatakan gugur.
2.      Teori Kebenaran
Kebenaran (truth) memiliki berbagai macam makna, misalnya keadaan ketika terjadi kesesuaian dengan fakta khusus atau realitas, atau keadaan yang sesuai dengan hal-hal yang nyata, kejadian-kejadian nyata, atau aktualitas. Kebenaran juga berarti suatu hal cocok dengan aslinya atau sesuai dengan ukuran-ukuran yang ideal. Pada kasus Ahok, banyak pihak yang mencoba menganalisis dari berbagai sudut dan aspek ilmu tanpa kita tahu apakah itu merupakan kebenaran yang benar. Kebenaran menurut individu dapat berbeda-beda, tergantung sudut pandang dan metode yang digunakan oleh individu tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan 3 bentuk eksistensi, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat kebenaran dan agama. Jika kita memahami Al-Quran hanya dengan mengandalkan pemahaman sendiri atas dasar rasionalitas semata, itulah yang terjadi, saling menyalahkan dan saling menuduh. Alangkah baiknya dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tersebut kita berpegang kepada para ulama tafsir yang telah ahli dan memiliki ilmu yang cukup mumpuni dalam melakukan penafsiran Al-Quran. Kembali lagi untuk kasus ini terkait dengan Al-Maidah 51, hanya Allah yang benar-benar tahu makna di balik setiap hurufnya, dan segala sumber kebenaran tersebut mutlak hanya milik Allah SWT.
3.      Etika Dalam Dunia Ilmu
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar. Pada kasus Ahok, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama. Namun, Ahok kurang mahir dalam menyampaikannya serta kurang bisa membawa diri sehingga kata-kata yang terucap menimbulkan berbagai kesalahpahaman dan juga multitafsir.
4.      Tanggung Jawab Moral Keilmuan
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul jawa, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya (Balai Pustaka, 1991:1006).
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Di bidang etika tanggung jawab seorang ilmuan adalah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Pada kasus Ahok, Ia dengan tangan terbuka mengakui kesalahan dan meminta maaf bahwa Ia tak berniat untuk menistakan agama. Ia juga bersikap kooperatif selama proses penyelidikan menandakan bahwa beliau memiliki pola pikir terbuka, mampu menerima kritik dan pendapat orang lain.

C.   Kesimpulan dan Saran

1.      Kesimpulan
Kisruh yang menggelayut Penduduk DKI Jakarta jelang Pilkada DKI 2017, terlebih dengan munculnya kasus dugaan penghinaan terhadap Ayat Suci Al Qur’an yang dituduhkan kepada Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus menuai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Kejadiannya berlangsung saat kunjungannya di Kepulauan Seribu. Secara klasik, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama. Dihadirkan saksi dari JPU di yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal. Dikaji dari bidang Filsafat maka akan memunculkan berbagai hal seperti dari aspek Epistemologi, Teori Kebenaran, Etika Dalam Dunia Ilmu, serta Tanggung Jawab Moral Keilmuan.
2.      Saran
Marilah lebih cermat dan hati-hati dalam menerima informasi. Banyaknya media yang bertebaran dan mampu diakses tak lantas mendatangkan manfaat bagi kita. Justru kita yang harus lebih bijak lagi dalam menghadapinya, sekaligus  menjadi filter bagi kita. Kita adalah editor bagi informasi-informasi tersebut. Pahami dan bacalah berbagai persoalan sebelum mempercayainya.


REFERENSI
Bachtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hadi, Hardono. 1994. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Soyomukti, Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 2019. Ilmu dalam Persfektif. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
http://www.qureta.com/post/ahok-sang-penista-atau-pembela-alquran (Diakses pada tanggal: 12 Januari 2017, pukul 15.00 Wib).
http://www.qureta.com/post/melihat-kasus-ahok-dengan-kacamata-hermeneutika (Diakses pada tanggal: 12 Januari 2017, pukul 17.00 Wib).





0 comments :

Posting Komentar

 
;