Nurul
Hasanah
Mahasiswi Bahasa Inggris
Program Pasca Sarjana Universitas PGRI Palembang
(nurulhasanahmoslem@gmail.com)
Abstrak
Setelah viralnya pernyataan Ahok, “Dibohongi
pakai surat al-Maidah 51 macam-macam,” dalam sebuah video, beberapa orang
langsung mengkaji dari berbagai pendekatan, baik dari segi penafsiran,
linguistik, wacana dan lain-lain. Kejadiannya
berlangsung saat kunjungannya di Kepulauan Seribu. Secara klasik, telah jelas
permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan
mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata
tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi
masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama.
Dihadirkan saksi dari JPU yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy
Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal. Dikaji dari bidang
Filsafat maka akan memunculkan berbagai hal seperti dari aspek Epistemologi,
Teori Kebenaran, Etika Dalam Dunia Ilmu, serta Tanggung Jawab Moral Keilmuan.
A. Pendahuluan
1. Latar
Belakang
Kisruh yang menggelayut Penduduk DKI
Jakarta jelang Pilkada DKI 2017, terlebih dengan munculnya kasus dugaan
penghinaan terhadap Ayat Suci Al Qur’an yang dituduhkan kepada Cagub Petahana
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus menuai tanggapan dari berbagai elemen
masyarakat. Meski Ahok sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf, yang
dikemukakannya di Balaikota, Jakarta, Senin (10/10/2016). Ahok sendiri
sebenarnya sudah menyatakan jika dia tidak berniat melecehkan Islam saat
menyampaikan Surah Al-Maidah ayat 51 didepan Warga Kepulauan Seribu tersebut.
Secara redaksional kebahasaan,
ucapan Ahok belum tentu merujuk pada sebuah penghinaan. Ini lagi-lagi perlu
pembuktian lebih lanjut. Terutama soal apakah kata “dibohongi” itu merujuk
kepada Al Qur’an atau tidak. Pasalnya, hingga hari ini, penggunaan kata “pakai”
dalam konteks pernyataan Ahok “Dibohongi pakai Al Maidah 51” masih menuai
kontroversi. “Dan ini adalah fakta hukum yang tidak bisa dihindari.”Banyak
pihak yang tak sabar menunggu proses hukum terkait kasus yang menimpa Ahok.
Perkara ini meluas menjadi aksi demonstrasi besar-besaran pada 4 November 2016.
Dia pun kerap ditolak oleh sekelompok orang saat berkampanye di beberapa
wilayah Jakarta. Mereka menuntut agar polisi terus memproses hukum Ahok dengan
tuduhan penistaan agama. Polisi pun terus menyelidiki kasus ini. Dari
penjelasan di atas, penulis tertarik untuk menganalis ucapan
Ahok terkait dugaan penistaan agama pada Surah Al-Maidah 51 serta kajian pada bidang
Filsafat
2.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
analisis kasus Ahok ditinjau dari ucapannya terkait Surah Al- Maidah 51 yang diduga
menistakan agama ?
2. Apa
Tafsir Al- Maidah
51 yang dikutip Ahok?
3. Bagaimana
kasus Ahok jika
ditinjau dari para Saksi yang dihadirkan oleh JPU?
4. Bagaimana
kasus Ahok jika
ditinjau dari bidang Filsafat?
3. Tujuan
1. Menjelaskan analisis kasus Ahok
ditinjau dari ucapannya terkait Surah Al- Maidah 51 yang diduga menistakan
agama.
2. Memahami
mengenai Tafsir Al- Maidah 51 yang dikutip Ahok.
3. Menjelaskan para Saksi
yang dihadirkan oleh JPU pada kasus Ahok.
4. Menjelaskan kasus Ahok jika
ditinjau dari bidang Filsafat.
B. Pembahasan
1.
Analisis
Ucapan Ahok Terkait Dugaan Penistaan Agama Pada Surah Al-Maidah 51
Setelah
viralnya pernyataan Ahok, “Dibohongi pakai surat al-Maidah 51 macam-macam,”
dalam sebuah video, beberapa orang langsung mengkaji dari berbagai pendekatan,
baik dari segi penafsiran, linguistik, wacana dan lain-lain. Lebih awal, penulis menjabarkan bahwa tulisan
ini tidak mempersoalkan identitas agama Ahok. Walaupun sikap objektif itu
adalah non-sense atau tidak mungkin ada, setidaknya memposisikan diri bukan
pendukung calon pasangan pilkada DKI, bisa lebih menghindari fanatik
subjektivitas.
Secara
klasik, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks kata-kata
Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”. Secara
tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya dari
seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan
menggunakan embel-embel agama. Ia cuma mengingatkan masyarakat agar tidak
terhasut atau terbodohi oleh akal bulus politik seperti itu yang menggunakan
kitab suci dalam senjata politik. Jadi, yang sebenarnya licik itu bukan
Ahoknya, tapi orang yang bawa-bawa agama demi persaingan politiknya. Kalo kita
lihat sampai disini, dari sisi mananya pernyataan Ahok itu melecehkan atau
menistakan agama?.
Jika kita
membaca permasalahan tersebut dari sudut pandang hermeneutika, menyebar luasnya
berita-berita Ahok yang katanya “mendustakan” agama, yang menyebabkan
kesalahpahaman di kalangan khalayak ramai tersebut, tidak terlepas dari 3
faktor: Pertama, karena adanya pemanfaatan politik. Seperti yang telah
diketahui sekarang sedang hangatnya persaingan politik menjadi orang nomor satu
di Ibukota tersebut, pernyataan-pernyataan Ahok yang multi-tafsir tersebut
dimanfaatkan oleh pasangan lain untuk menjatuhkan nama baik Ahok, yang mana
pada saat ini dari hasil survei elektabilitas Ahok lebih unggul dari pasangan
lain.
Kedua,
kondisi psikologis Ahok yang semakin tertekan. Siapa yang tidak tertekan jika
ia selalu disudutkan karena adanya perbedaan keyakinan dengan kaum mayoritas di
negeri ini, dan hal itu menjadi senjata politik ampuh bagi para haters Ahok
untuk menjatuhkannya. Padahal, yang perlu digarisbawahi adalah, negeri ini
bukanlah negeri yang menganut paham khilafah yang sedang diperjuangkan oleh
salah satu organisasi politik keagamaan di negeri ini, akan tetapi negeri ini
masih menganut paham demokratis yang mana semua orang berhak untuk menjadi
pemimpin.
Ketiga,
Adanya penambahan dan pengurangan informasi oleh media. Informasi yang kita
terima dari media sekarang ini masih perlu kita saring dan pilah pilih lagi,
karena buruknya kualitas informasi dari media yang terkenal suka menayangkan
berita-berita yang kontroversial dan tidak menyenangkan dengan melakukan
pengurangan dan penambahan informasi yang menyebabkan para pemirsanya menjadi
multi-tafsir bahkan salah paham. Di sisi lain, banyak juga unsur politik yang
telah masuk dalam dunia pertelevisian Indonesia yang menyebabkan adanya
kesenjangan dalam dunia politik di negeri ini, salah satu faktornya ialah
karena beberapa media di negeri ini telah dikuasai oleh antek-antek penguasa di
dunia partai politik.
Terlepas dari
itu semua, memahami Al-Quran tidak bisa dikatakan sepele, perlu metodologi
khusus agar kita dapat memahami maksud yang sebenarnya dari Al-Quran itu
sendiri, salah satunya ialah dengan menganalisa sebab turunnya ayat tersebut,
sehingga tidak terjadinya kesalahpahaman dalam pemaknaannya. Ayat Al-Quran itu
unik, karena kalam Allah, sungguh sangat berbeda dengan buku-buku ciptaan
manusia, sehingga dalam memahaminya kita harus secara komprehensif, karena bisa
saja antara ayat yang satu dengan ayat yang lain memiliki hubungan atau bisa
jadi sebagai penjelas/keterangan bagi ayat tersebut.
Jika kita
memahami Al-Quran hanya dengan mengandalkan pemahaman sendiri atas dasar
rasionalitas semata, itulah yang terjadi, saling menyalahkan dan saling
menuduh. Alangkah baiknya dalam memahami ayat-ayat Al-Quran tersebut kita
berpegang kepada para ulama tafsir yang telah ahli dan memiliki ilmu yang cukup
mumpuni dalam melakukan penafsiran Al-Quran. Dalam memahaminya juga tidak cukup
dengan membaca satu penafsiran ulama saja, karena tafsir adalah sebuah produk
yang bisa saja tafsir tersebut lahir sesuai konteks situasi dan kondisi pada
masa penafsir tersebut, sehingga hasil dari tafsirannya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat pada saat itu.
Alangkah
baiknya jika kita memahami suatu ayat dalam Al-Quran tersebut dengan membaca
berbagai macam kitab tafsir ulama yang telah memiliki kredibilitas dan
kapabilitas, sehingga kita memiliki pemahaman yang banyak dan bervariasi,
variasi tersebutlah yang membuat pemahaman kita terhadap ayat tersebut semakin
dalam, karena variasi tersebut akan saling melengkapi pemahaman kita terhadap
ayat Al-Quran, sehingga terbentuklah pemahaman komprehensif terhadap ayat
tersebut.
2. Tafsir Al-Maidah 51 yang Dikutip Ahok
Belakangan
terakhir ini muncul berita cukup hangat yang penuh kontroversi. Siapa yang
tidak tahu permasalahan itu, dari kalangan intelektual hingga masyarakat biasa
yang tidak jarang memunculkan berbagai macam opini dan tafsiran dalam
permasalahan tersebut. Pembicaraan mereka tidak lain dan tidak bukan ialah
mengenai Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang “katanya”
mendustakan salah satu ayat di dalam Al-Quran. Seperti diketahui, surat
Al-Maidah ayat 51 yang disebut Ahok diyakini sebagian orang sebagai ayat
penolakan terhadap pemimpin kafir. Berbicara soal pemimpin kafir,
budayawan senior Emha Aiun Najib tidak setuju jika kafir dan Muslimnya
seseorang dinilai seperti benda mati. “Status Muslim dan kafir itu dinamis
(pada setiap orang), tidak bisa dinilai dengan ukuran statis,” kata pria yang
akrab disapa Cak Nun ini sembari menegaskan bahwa pendapatnya tidak ada
kaitannya dengan Gubernur Ahok dan Pilgub DKI
Pandangan
alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada hadist Nabi Saw
yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang
sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar
.” (HR. Bukhari). Selain itu,
lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak berdiri sendiri.
Kafir
kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau ingkar pada perintah
Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah. Sebaliknya, jika ia berserah
diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya orang yang ‘Muslim’ pada Iblis. “Hukum
tidak mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,” kata penulis
buku ‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum. Karena itu, menghakimi
seseorang bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat dari identitasnya,
tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut Muslim bisa kafir kapan
saja. Jika kita ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan
moral seseorang. Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman seorang
pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika
ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang
mencuri.
Selanjutnya,
ada pendapat mengenai tafsir Surah Al-Maidah 51 menurut Prof. Quraish Shihab.
Beliau menjelaskan bahwa tafsir ayat itu tidak sesederhana itu. Tafsir kata
‘awliya’ dalam ayat itu saja tidak sebatas pemimpin. Seperti diketahui, ayat
dari Surah Al-Maidah yang kerap disebut sebagai dalil menolak ‘pemimpin kafir’
itu ialah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’; sebagian mereka adalah awliya
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
Benarkah ayat
di atas menyerukan penolakan “pemimpin kafir?” Menurut pakar tafsir Al-Qur’an
Prof. Quraish Shihab, ayat di atas tidaklah berdiri sendiri namun memiliki
kaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hanya memenggal satu ayat dan melepaskan
ayat lain berimplikasi pada kesimpulan akhir. Padahal, Al-Maidah ayat 51
merupakan kelanjutan atau konsekuensi dari petunjuk-petunjuk sebelumnya.
“Konsekuensi dari sikap orang
yang memusuhi Al-Qur’an, enggan mengikuti tuntunannya…”
Pada ayat
sebelumnya, Al-Qur’an diturunkan untuk meluruskan apa yang keliru dari kitab
Taurat dan Injil akibat ulah kaum-kaum sebelumnya. Jika mereka – Yahudi dan
Nasrani, enggan mengikuti tuntunan Al-Qur’an, maka mereka berarti memberi
‘peluang’ pada Allah untuk menjatuhkan siksa terhadap mereka karena
dosa-dosa yang mereka lakukan. Kemudian dilanjutkan oleh ayat 51 surat
Al-Maidah. Kalau memang seperti itu sikap orang-orang Yahudi dan Nasrani –
mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Qur’an, keinginannya mengikuti
jahiliyah, – “Maka wahai orang-orang beriman janganlah engkau menjadikan
orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya.”
Bagi Quraish
Shihab, hubungan ayat ini dan ayat sebelumnya sangat ketat. “Kalau begitu
sifat-sifatnya, jangan jadikan mereka awliya. Nah, awliya itu
apa sebenarnya? ‘Awliya’ ialah jamak
atau bentuk plural dari ‘wali’. Di Indonesia, kata ini populer sehingga ada
kata wali-kota, wali-nikah dst. Wali ialah, kata penulis Tafsir Al Misbah ini,
pada mulanya berarti “yang dekat”. Karena itu, waliyullah juga
bisa diartikan orang yang dekat dengan Allah. “Dari sini, kata ‘wali’ yang
jamaknya ‘awliya’ memiliki makna bermacam-macam.”
Yang jelas,
kata jebolan Al Azhar Mesir ini, kalau ia dalam konteks hubungan antar manusia,
berarti persahabatan yang begitu kental. “Dalam ayat ini, jangan angkat mereka
–Yahudi dan Nasrani- yang sifatnya seperti dikemukakan pada ayat sebelumnya
menjadi wali atau orang dekatmu. Sehingga engkau membocorkan rahasia kepada
mereka.”Dengan demikian, ‘awliya’ bukan sebatas bermakna pemimpin, kata Quraish
Shihab. “Itu pun, sekali lagi, jika mereka enggan mengikuti tuntunan Allah dan
hanya mau mengikuti tuntunan Jahiliyah seperti ayat yang lain.”
3.
Ditinjau
dari Saksi yang Dihadirkan JPU
Sejak diputuskannya Ahok menjadi
tersangka, tidak ada bukti kuat yang ditunjukkan pelapor di persidangan bahwa
Ahok menistakan agama. Menurut Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugoho, terminologi
saksi adalah apa yang dilihat, didengar dan diketahui. Keempat saksi yang
dihadirkan JPU, yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin
alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal semuanya tidak ada di tempat kejadian
ketika Ahok melakukan Pidato yang dipermasalahkan. Bahkan, menurut Andi Analta
Amir yang menjadi saksi dari Ahok dan mengikuti pengadilan langsung
menjelaskan, bahwasanya saksi dari JPU banyak lupa dan ketika ditanya sumber
video yang ditonton adalah video versi Buni Yani yang sudah jelas telah diedit dan
bukan orisinil lagi.
Bagaimana
mungkin, seseorang yang tidak ada di tempat ketika kejadian dan hanya menonton
video yang sudah jelas diedit transkripnya menjadi saksi fakta. Jika merujuk
pernyataan Hibnu Nugoho keempat saksi sudah dikatakan gugur. Belum lagi, ada
beberapa saksi yang terkait dengan salah satu Ormas yang selama ini menentang
Ahok. Jelas, ini merupakan kesumat pribadi. Jika kita merunut kronologi kasus
Ahok, kita akan menemukan kejanggalan. Pertama, reaksi pendengar langsung
pidato Ahok tidak ada yang protes. Padahal mayortitas masyarakat nelayan Pulau
Pramuka adalah muslim. Kedua, dari tanggal 27 September 2016 sampai tanggal 6
Oktober 2016 yakni tanggal Ahok berpidato dan tanggal Buni Yani mengunggah
postingannya, tidak ada gejolak apapun di masyarakat.
Namun,
tuntutan terhadap penahanan Ahok begitu gencar dan seakan memaksakan. Banyak
sekali ulama terkemuka Indonesia yang berseberangan dengan sikap MUI, misalnya
Nashiruddin Umar. Imam Besar Istiqlal ini, menyatakan tidak ada penistaan jika
berdasarkan konteks saat itu. Dalam Tafsir Ibnu katsir, menurutnya kata Auliyaai
di surat Al-Maidah bermakna teman. Para penuntut Ahok lebih mengutamakan
egoisitas pribadi. Mereka menafsirkan sendiri maksud Ahok sesuai dengan
kemauannya. Mereka tidak pernah menanyakan terlebih dahulu tentang maksud
perkataan yang dilontarkan Ahok sebagai pelaku. Padahal, Ahok masih hidup dan
sehat dan siap mengklarifikasinya. Disamping itu, mereka tidak mempertimbangkan
argumentasi dengan orang yang berbeda sikap.
Sepertinya,
mereka para penuntut Ahok termasuk MUI memaksa kita untuk memahami pernyataan
Ahok versi mereka. Secara tidak sadar, hak kita dalam memahami sesuatu,
khususnya makna perkataan Ahok di Kepulauan Seribu telah diperkosa. Tanpa bukti
yang jelas dan kuat mereka memaksa aparat untuk segera menahan Ahok.
Seharusnya, semua tuntutan terhadap Ahok telah gugur dan Ahok segera dibebaskan
demi keadilan.
4.
Kajian
Filsafat Pada Kasus Ahok
1.
Epistemologi (Aliran
Empiris)
Kata empiris berasal dari kata yunani
empieriskos yang berasal dari kata empiria, yang artinya pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan
bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah
pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena manusia menyentuhnya, gula
manis karena manusia mencicipinya. Namun dalam koridor empirisme, pengetahuan
yang berkelindan dengan kebenaran haruslah bersifat aposteriori atau “didahului
pengalaman”. Dengan kata lain, tak terdapat bukti nyata yang terindera.
Pada kasus Ahok, keempat
saksi yang dihadirkan JPU, yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy
Setiawan, Muchsin alias Habib Muchsin, dan Samsu Hilal semuanya tidak ada di
tempat kejadian ketika Ahok melakukan Pidato yang dipermasalahkan. Dengan kata
lain, mereka tak memiliki bukti nyata yang terindera.
Bahkan, menurut Andi Analta Amir yang menjadi saksi dari Ahok dan mengikuti
pengadilan langsung menjelaskan, bahwasanya saksi dari JPU banyak lupa dan
ketika ditanya sumber video yang ditonton adalah video versi Buni Yani yang
sudah jelas telah diedit dan bukan orisinil lagi. Bagaimana mungkin,
seseorang yang tidak ada di tempat ketika kejadian dan hanya menonton video
yang sudah jelas diedit transkripnya menjadi saksi fakta. Jika merujuk
pernyataan Hibnu Nugoho keempat saksi sudah dikatakan gugur.
2. Teori
Kebenaran
Kebenaran
(truth) memiliki berbagai macam makna, misalnya keadaan ketika terjadi kesesuaian
dengan fakta khusus atau realitas, atau keadaan yang sesuai dengan hal-hal yang
nyata, kejadian-kejadian nyata, atau aktualitas. Kebenaran juga berarti suatu
hal cocok dengan aslinya atau sesuai dengan ukuran-ukuran yang ideal. Pada
kasus Ahok, banyak pihak yang mencoba menganalisis dari berbagai sudut dan
aspek ilmu tanpa kita tahu apakah itu merupakan kebenaran yang benar. Kebenaran
menurut individu dapat berbeda-beda, tergantung sudut pandang dan metode yang
digunakan oleh individu tersebut. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam
perenungannya akan menemukan 3 bentuk eksistensi, yaitu ilmu pengetahuan,
filsafat kebenaran dan agama. Jika kita memahami Al-Quran hanya dengan
mengandalkan pemahaman sendiri atas dasar rasionalitas semata, itulah yang
terjadi, saling menyalahkan dan saling menuduh. Alangkah baiknya dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran tersebut kita berpegang kepada para ulama tafsir yang telah
ahli dan memiliki ilmu yang cukup mumpuni dalam melakukan penafsiran Al-Quran.
Kembali lagi untuk kasus ini terkait dengan Al-Maidah 51, hanya Allah yang
benar-benar tahu makna di balik setiap hurufnya, dan segala sumber kebenaran
tersebut mutlak hanya milik Allah SWT.
3. Etika
Dalam Dunia Ilmu
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti adat, kebiasaan kesusilaan. Pengertian terminologi etika
menunjukkan pada tingkah laku yang didasarkan pada penilaian baik dan benar. Pada
kasus Ahok, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan melihat konteks
kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah Al-Maidah ayat 51”.
Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok ialah, bahwa ada upaya
dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk menjatuhkan dirinya dengan
menggunakan embel-embel agama. Namun, Ahok kurang mahir dalam menyampaikannya
serta kurang bisa membawa diri sehingga kata-kata yang terucap menimbulkan
berbagai kesalahpahaman dan juga multitafsir.
4. Tanggung
Jawab Moral Keilmuan
Tanggung jawab menurut
kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.
Sehingga bertanggung jawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah berkewajiban
menanggung, memikul jawa, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab
dan menanggung akibatnya (Balai Pustaka, 1991:1006).
Tanggung jawab adalah
kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang
tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan
kesadaran akan kewajibannya. Di bidang etika tanggung jawab seorang ilmuan
adalah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang
lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Pada
kasus Ahok, Ia dengan tangan terbuka mengakui kesalahan dan meminta maaf bahwa
Ia tak berniat untuk menistakan agama. Ia juga bersikap kooperatif selama
proses penyelidikan menandakan bahwa beliau memiliki pola pikir terbuka, mampu
menerima kritik dan pendapat orang lain.
C. Kesimpulan dan
Saran
1. Kesimpulan
Kisruh yang
menggelayut Penduduk DKI Jakarta jelang Pilkada DKI 2017, terlebih dengan
munculnya kasus dugaan penghinaan terhadap Ayat Suci Al Qur’an yang dituduhkan
kepada Cagub Petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, terus menuai tanggapan
dari berbagai elemen masyarakat. Kejadiannya berlangsung saat kunjungannya di
Kepulauan Seribu. Secara klasik, telah jelas permasalahannya, apalagi dengan
melihat konteks kata-kata Ahok tersebut “jangan mau dibodohi pakai Surah
Al-Maidah ayat 51”. Secara tersirat, dari susunan kata tersebut, maksud Ahok
ialah, bahwa ada upaya dari seseorang/kelompok membodohi masyarakat untuk
menjatuhkan dirinya dengan menggunakan embel-embel agama. Dihadirkan saksi dari
JPU di yakni Novel Chaidir Hasan Bamukmin, Gus Joy Setiawan, Muchsin alias
Habib Muchsin, dan Samsu Hilal. Dikaji dari bidang Filsafat maka akan
memunculkan berbagai hal seperti dari aspek Epistemologi, Teori Kebenaran,
Etika Dalam Dunia Ilmu, serta Tanggung Jawab Moral Keilmuan.
2. Saran
Marilah
lebih cermat dan hati-hati dalam menerima informasi. Banyaknya media yang bertebaran
dan mampu diakses tak lantas mendatangkan manfaat bagi kita. Justru kita yang
harus lebih bijak lagi dalam menghadapinya, sekaligus menjadi filter bagi kita. Kita adalah editor
bagi informasi-informasi tersebut. Pahami dan bacalah berbagai persoalan
sebelum mempercayainya.
REFERENSI
Bachtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Rajagrafindo
Perkasa.
Bertens, K.
2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hadi,
Hardono. 1994. Epistemologi (Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Soyomukti,
Nurani. 2011. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S. 2019. Ilmu dalam Persfektif. Jakarta: Yayasan
obor Indonesia.