ISBN : 978-602-251-518-0
Halaman : 281
Penulis : W. Mahdayani
Penerbit : Grasindo
Sinopsis:
"Bordeaux? Kota
tua bergelimang anggur! Kau bisa menemukan anggur dengan harga lebih murah dari
air mineral, atau bahkan sebotol yang harganya sama dengan tiket pesawat
keliling dunia!"
Kelana, seorang
perempuan dari keluarga kelas menengah di
Jakarta, memperoleh beasiswa untuk kuliah di Bordeaux, Prancis.
Kesempatan ini membawanya menjalin persahabatan dengan Dewa, sesama mahasiswa
Indonesia. Dia juga bertemu Gerard, Alexandrine, dan Thi Thuy; teman sekelas
yang mengajarkannya bahwa persahabatan tak berbatas sekat warga negara, budaya,
bahkan agama. Serta, pertemuan dengan Ajisaka, mahasiswa idealis yang
menyeretnya dalam gelombang perasaan tak berujung.
Bordeaux tiga
menceritakan impian hidup, cita-cita, persahabatan, dan cinta. Semuanya
dikisahkan di antara lorong-lorong kota tua Bordeaux, sudut-sudut Barcelona,
barisan hutan pinus Himalaya, asap dapur jalanan Delhi, dan labirin kota Paris.
Dalam pencarian jati diri dan proses pendewasaan hidup yang dialami Kelana.
---
Review:
Membaca Bordeaux
Tiga karya W. Mahdayani ini seakan membawa saya melintasi tempat-tempat yang diceritakan. Kelana yang cerdas sungguh
memikat saya saat pertama kali membaca novel ini. Tak sampai di situ, saya
disuguhkan dengan gaya penulisan dalam novel ini yang sungguh istimewa.
"Aku ingin
bertemu lelaki dengan mata berbinar seperti pendaran cahaya bintang di langit
malam yang kelam. Agar ketika merindukannya, aku bisa memandang langit malam
yang pekat, mencari di antara gemintang yang paling bersinar karena itulah dia."
Cerita berlanjut
menuju setting Barcelona. Siapa sangka di sana ia kehilangan paspornya. Bagi
para pencopet Eropa, paspor merupakan benda yang berharga selain dompet.
Delhi, India.
Memberikan banyak sekali pelajaran bagi Kelana. Ia harus hati-hati dan bersikap
waspada. Kata-kata dari seorang supir taksi yang selalu diingatnya. Jangan terlalu
ramah pada orang yang baru dikenal.
Agra, India. Di sini
ia mengunjungi Taj Mahal. Ia melihat sebuah makam. Tapi bukannya aura mistis
yang ia dapatkan, namun aura romantis yang terus menguar. Kedatangannya ke sana
seorang diri memberikan kesan aneh. Seseorang menegurnya seakan memberikan sebuah
jawaban bahwa ia seharusnya melemparkan koin ke arah makam. Jika ia ingin
kembali ke sini dengan pria yang ia cintai. Yang kelak menjadi suaminya dan
sangat mencintainya. Ia pun menurutinya, terlepas dari sebuah mitos atau tidak.
Di bagian terakhir
dari novel ini, kedekatan seorang Kelana dengan Ajisaka pun semakin tak
terbantahkan. Mereka sering menghabiskan waktu untuk piknik, pergi ke
taman, kafe, dan menyusuri tempat-tempat di Paris. That was sweet moments I
think.
Bab 17 mengupas
tentang titik menuju masa depan. Saya suka sekali bab ini. Di sini dengan
gamblang Ajisaka menunjukkan
ketertarikannya dengan Kelana. Meskipun tak terlalu kentara. Inilah percakapan
mereka yang sempat membuat saya baper. Istilah anak zaman sekarang. Haha
"Kelana, kau
bisa hitung berapa banyak tetesan salju itu?"
"Tidak.
Bagaimana bisa?" Aku terkekeh geli.
"Lihatlah
tetesan salju itu, sebanyak itulah rindu yang kusimpan saat tidak bertemu
denganmu."
Pipiku memanas. Aku
kehilangan kata-kata, dan membiarkan Ajisaka yang kini sudah menggenggam
tanganku.
Namun perasaan saya
kembali terhempas dengan hubungan Ajisaka dan Kelana. Ajisaka yang melanjutkan
study S3 nya dan Kelana yang kembali ke tanah air karena mendapatkan pekerjaan
yang berbasis di Bali.
Di akhir halaman,
sebuah kejutan kembali hadir. Sebuah kartu yang entah apa isinya dari Kelana.
Dan saya dibuat penasaran apakah berujung happy ending atau sad ending?