Sebenarnya berat untuk
menulis kisah ini.
Saat itu aku nekat
mendaftarkan diri untuk masuk program Pasca Sarjana di UGM dan mengambil
konsentrasi Linguistics. Aku pribadi memang sudah sangat interest dengan bidang itu. Skripsiku yang berkiblat pada Linguistics pun menambah panjang daftar
alasan bagiku. Ada beberapa syarat yang diajukan UGM saat proses penyaringan
program S2. Total ada 8 berkas yang
harus aku penuhi. Jujur saat itu persiapan sangat minim. Mungkin aku bisa saja
berpegang teguh pada IPK dan surat rekomendasi dosen. Namun justru hal itu yang
sepertinya tak berpengaruh dan tak dilirik sama sekali. Aku melupakan fakta
bahwa aku merupakan alumni PTS di kotaku. Di Lubuklinggau. Akreditasi prodi pun
masih C saat itu.
Ke-8 berkas itu adalah
ijazah, transkrip, akreditasi, TOEFL, TPA, surat rekomendasi dosen, surat
keterangan sehat, dan proyeksi keinginan. Di 2016, UGM membuka pendaftaran pada
awal April. Kemudian berakhir pada tanggal 15 Juni (kalo tidak salah hehehe).
Karena aku tidak punya banyak waktu, aku berusaha menyiapkan berkas-berkas
tersebut. Dimulai dari surat rekomendasi dosen. Terimakasih banyak Misshel dan
sir MJ yang berkenan membantu. Kemudian dilanjutkan dengan akreditasi. Yang paling
berat adalah TOEFL dan TPA.
Aku ingat saat itu aku
bertanya sana sini mengenai penyelenggara test TOEFL. Akhirnya aku
mendapatkan jawabannya setelah mengecek langsung website kampus tersebut.
Universitas Bina Darma Palembang adalah saksi perjuangan dalam mengikuti TOEFL
ITP. Hari itu aku bergegas ke UBD menggunakan bis kota. Jangan tanya aku pergi
pukul berapa. Karena di kepalaku sudah tertanam bahwa aku tidak boleh
terlambat. Karena UBD terletak di Plaju- yang kawasannya sering terjebak macet.
Maka dari itu, aku tidak mau mengambil risiko. Sampai di UBD pukul 08.00 wib.
Testnya sendiri adalah pukul 09.00 wib. Tersisa 1 jam lagi. Aku bertanya sana
sini mengenai lokasi test TOEFL. Tak ada terbesit sedikit pun rasa takut atau
malu bertanya. Hingga seorang satpam tergerak menolongku dan mengantarkan
langsung ke gedung test tersebut. Trims, pak!
Kami diminta menunggu
di ruang baca kampus UBD. Setelah itu dibutuhkan waktu 15 menit untuk
pengecekan peserta. Hingga nama terakhir yang disebut oleh pihak kampus, justru
namaku lah yang tidak ada. Aku mendesah dalam hati. “kenapa bisa begini?” aku
pelan-pelan menjelaskan pada panitia bahwa aku telah mengikuti beberapa syarat
untuk ikut test TOEFL tersebut. Semua memang dikirimkan melalui email. Bukti
pembayaran dan identitas diri. Allah Maha baik. Saat aku dilanda putus asa di
detik-detik terakhir, panitia memberitahukan bahwa aku bisa masuk ruang test
karena ada satu peserta yang tidak datang. Alhamdulillah. Saat test
berlangsung. Pada sesi listening. Aku kesulitan mengerjakan. Speakernya
terletak di atas kepala kami. Kalo biasanya listening itu menggunakan headphone.
Maka di UBD tidak. Jadilah aku tidak fokus pada saat itu.
Test TOEFL sungguh
sangat melelahkan. 2 jam tanpa break.
Setelah dinyatakan boleh meninggalkan lokasi, kami pun bergegas untuk pulang.
Kami diminta mengambil sertifikat TOEFL sekitar 2 minggu lagi. Saat itu aku
menunggu bis kota jurusan Plaju – Pusri. Berwarna merah. Karena lokasi rumah
sahabatku itu di lemabang. Setengah jam berlalu, bis kota yang kutuju pun tak
menampakkan batang hidungnya. “Bagaimana ini? aku tak mungkin menunggu di sini
terus menerus.” Aku berujar dalam hati.
Setelah lelah menunggu.
Aku dihadapkan pilihan pada Trans Musi (TM). Di kepalaku berputar-putar kalimat
“naik sekarang atau tidak sama sekali.” Dengan modal nekat aku pun naik TM. Aku
tidak tahu seluk beluk Palembang. Aku lupa karena kunjunganku terakhir adalah
tahun 2011- saat mengikuti SNMPTN. Itu pun tidak benar-benar dilepas. Karena
kami berada dalam satu rombongan- bimbingan belajar.
Balik lagi ke cerita
TM. Hampir 2 jam aku muter-muter. Sampai petugasnya pun meminta uang lagi. Aku
katakan bahwa aku sudah membayar. Aku bisa gila saat itu. Masa aku dituduh
tidak bayar. Yang benar saja. Setelah acara tuduh menuduh itu berakhir, dapat
diputuskan bahwa aku yang bersalah. Seharusnya aku memang membayar lagi karena
aku transit sebanyak 2x. Rasanya aku mau menghilangkan diri saat itu. Sontak
saja karena semua mata tertuju kepadaku. Puft...
Aku tidak sadar bahwa
aku telah memutari Masjid Agung sebanyak 2x. Aku tak mau dianggap pendatang.
Karena aku takut ditipu. Hehe.. Jadilah aku bertanya dengan petugas TM dengan
tampang yang cukup gahar. Haha. “Mas kalo berhenti di Lemabang transit di mana?
Saya kayaknya udah 2x lewat sini deh.” Tanyaku pada petugas. “Lho seharusnya
turun di simpang polda tadi, dek” kata petugas. Jadilah saat itu aku
bersitegang dengan petugas. Aku mengatakan bahwa tujuanku di Lemabang,
seharusnya mereka dong yang memberitahu aku bakal transit di mana. Misunderstanding.
Tapi nurani aku berbisik “memang penumpang TM kamu doang, Rul. Wajarlah mereka
khilaf.” Huft. Aku mendengus. Aku masih gak rela mesti bayar 2x. Hahaaa..
Akhirnya TM yang akan
transit di Lemabang tiba. Aku lega bukan main. Setidaknya walupun 2 jam di TM,
tidak buruk-buruk amat pengalamannya wkwk. *benar-benar pelajaran berharga.
Itulah kisah saat
berjuang mengikuti test TOEFL.
Continue?
Well.
Ini
adalah yang bagian yang tersulit dari tulisan ini.
Kisahku yang mengikuti
TPA di UGM. Ya, PAPS.
Saat itu aku gusar
mencocokkan jadwal keberangkatan ke Jogja dan schedule tempatku mengajar dan siaran. Sampai sekarang pun jika
diingat, aku masih belum percaya bahwa aku pergi ke Jogja seorang diri. Ala
backpacker’n. Hahaa... Perjuangan mengikuti PAPS sangat melelahkan dan panjang.
Aku ingat betul saat itu aku yang mengandalkan signal pada modemku kesulitan
daftar untuk jadi peserta. Padahal waktunya yang tersisa sangatlah mepet.
Thanks
to someone yang di sana. Yang bela-belain nanya sama petugas
tentang problem yang aku hadapi saat
itu. Dia yang langsung menghubungiku detik itu juga. “Aku udah kasih tahu kamu
belum bahwa saat pendaftaran koneksi internet harus tinggi?” Tanyanya di ujung
telpon. Aku spontan melongo mendengar jawabannya. “Eh.. Aku lupa..hehe.”
Jawabku sekenanya. Tak ku sangka hal sepele seperti itu berujung fatal. Ya,
akhirnya aku bela-belain ke warnet. Jam 10 pagi. Situs PAPS UGM selalu penuh
dengan peserta. Tiap detik saling berlomba untuk mengisi data diri. Aku
menggigit bibir saat itu. “Ya Tuhan, kenapa tidak bisa? Kok error?” serta kalimat-kalimat yang
membuatku mendesah dan ketakutan. Kembali aku menghubungi dia yang di Jogja. Ia
memintaku untuk bersabar. Daaaaaaaaaaaaaaaaaaan pada akhirnya aku berhasil. Aku
berhasil mencatatkan diri sebagai peserta. Persiapan keberangkatan pun didesain
dengan mendadak. Lubuklinggau- Palembang (menggunakan KA) Palembang-Yogyakarta
(Pesawat). Thanks to my man aka my beloved father. Berkat beliau aku bertekad
kuat untuk menghadapinya seorang diri. Pengalaman naik pesawat pertama kali ya
saat itu. Aku ingat betul bahwa maskapai yang aku pilih sebelum keberangkatanku
itu menelpon. Menyatakan pesawatnya delay.
Aku cemas luar biasa saat itu. Kemudian mereka menghubungiku kembali bahwa
keberangkatan fix pukul 15.15 wib. Saat itu aku masih terjebak macet menuju
bandara. Setengah jam lagi menuju pukul 15.15 wib dan aku masih di jalan. Aku
merapalkan doa dalam hati. Ya Tuhan, mohon dengan sangat semoga aku masih bisa check in. Kalau saja informasi delay itu tidak mengusikku, aku pasti
telah tiba di sana. Sesampainya di bandara SMB Palembang, bapak hanya bisa
mengantarku hingga pintu depan. Aku berusaha mati-matian untuk tidak menitikkan
air mata. Karena bagaimana pun sosok bapak adalah sosok yang sangat dekat
denganku.
Selesai check in. Aku langsung menelpon bapak.
Aku tak punya banyak waktu saat itu. Meskipun aku belum pernah naik pesawat
sebelumnya, tapi instinct lah yang
membawa kakiku untuk melangkah. Aku melewati beberapa petugas keamanan. Lolos.
Aku terkikik dalam hati. Gak norak-norak banget ternyata. Wkwk...
Selesai dengan urusan
itu, aku melaju ke ruang tunggu keberangkatan. Aku ingat saat itu aku masih
asik berWhatsApp’n ria dengan Rahmad aka Aceh. Salah satu sahabatku di Jogja.
Ia memintaku beberapa kali untuk mencocokkan jadwal dan no pesawat (kalo tidak
salah). Jadilah aku bertanya dengan Ibu-ibu di sebelahku. “Maaf, bu. Maskapai
N*M Air benar flight pukul 15.15
wib?” tanyaku. Ternyata ibu itu cukup paham. Maklum sering bolak-balik
Singapore. Hehe.. “Didengerin aja pengumumannya” jawab ibu itu kalem. Tak lama
kemudian maskapai yang aku tunggu pun muncul. Kami diminta mengantri.
Alhamdulillah. Sudah sejauh ini, semua lancar-lancar saja. Meskipun banyak
kejadian lucu dan konyol. Anggap saja pengalaman.
Sampai di Adi Sutjipto,
aku langsung disambut dengan hujan yang teramat deras. Maka Nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kau dustakan? Aku bersyukur dengan tak henti-hentinya. Karena
bagiku hujan merupakan berkah. Saat itu kami dipinjami payung untuk menerobos
hujan. Tentu saja. Untuk apa lagi coba?
Aku langsung
menghubungi si Aceh. Guide ku saat
itu. Haha. Peace bro. Jadilah aku
celinguk sana sini mencarinya. Tak berapa lama, petugas bandara memanggilku.
Memintaku menuju ke area informasi. Jadilah aku berjalan mendekati sumber
suara. Tak jauh dari itu si Aceh bertengger dengan manis dan melambai-lambai.
Hahaa. Ternyata oh ternyata KTP ku terjatuh di pesawat. Gak bisa bayangin deh
kalo bukan jatuh di pesawat. Alhamdulillah. Allah lagi lagi Maha baik.
Bertemu mata dengan si
Aceh membuat tawaku meledak. Tampilannya berubah 180 derajat. Gilaaa! Rambutnya
dipakein bando dan kuncir. Duuuuhhh jadi geli... Kami memutuskan shalat maghrib
terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Satu minggu di
Yogyakarta adalah pengalaman yang paling berkesan sepanjang hidup. UGM, Maskam
UGM, Taman Sari, Tugu Jogja, Angkringan, Malioboro, Benteng Vredeburg menjadi
tempat-tempat yang masih membekas kuat hingga kini.
Thanks
to
Mbak Okta and Kak Yazir. Tanpa mereka, aku tak tahu harus kemana. Hehe.
Terimakasih untuk cerita-cerita inspirasi yang kita diskusikan di area Tugu
Jogja sambil menikmati hidangan ala Angkringan, aku tak pernah lupa.
Dan terakhir untuk si
Dia. Orang yang sangat berjasa akan kepergianku ke Jogja. Yang mengomeliku
panjang lebar mengenai urusan yang remeh temeh. Haha.. Kita benar-benar tak
berjodoh. Saat kepergianku ke Jogja, kamu sedang melakukan ibadah Umroh. Hal
yang buatku terharu adalah kamu yang sukses selalu mendatangkan hal-hal ajaib
di hidupku. Dengan cara yang tidak disangka-sangka. “Aku sudah berdoa di depan
Ka’bah untukmu. Semoga yang terbaik ya” ucapmu yang membuatku menahan napas
berkali-kali.
Hari terakhirku di Jogja
saat itu adalah hari saat kamu pulang. Aku ingat hari itu adalah hari pertama
puasa. Kita menghabiskan waktu untuk berbuka bersama. Ah... lagi-lagi hujan.
Hujan yang menahan kita untuk mencari makanan di luar sana. Jadilah aku makan
kurma 3 biji beserta coklat (oleh-oleh dari Mekah) hehe.. Sesuai dengan saranmu. Iya, Sunnah
Rasul kan? Iya aku masih ingat perkataanmu. Karena perut gak bisa diajak kerjasama,
jadilah kita menerobos hujan saat itu. Huffttt... Kamu memakaikan jaket anti
air padaku. Padahal saat itu aku sudah memakai jaket.
Tibalah kita di warung
makan. Aku terkaget-kaget dibuatnya. Penyajiannya terasa asing menurutku. Ya,
steamboat sukses membuatku sakit perut. Aku hanya makan beberapa udang dan
sayur. Selebihnya aku menyuruhmu menghabiskannya. Saat itu memang perutku
seakan mati rasa. Ya iyalah disugguhin hal yang menurutku aneh. Kamu menangkap
ekspresiku. Kamu berujar di sepanjang perjalanan “Mumpung kamu di sini, ayook
mau makan apa aja aku traktir!”
Aku tak berkomentar. Namun
seakan masih mengingat makanan favoritku. Kamu pun kembali melajukan motor. Kali
ini sasarannya lapak mie ayam. Aku sudah berseru saja meski tertahan. Haha.
*Saat memesan
*Saat memesan
C (karyawan): Kak, mau
pesan Mie nya rasa apa?
D (Dia): Ini mbak teman
saya tanyain aja.
Aku: Hah? Aku melihat-lihat
list. Kemudian menetapkan pilihan.
C: Kak.. Minumnya apa?
D: Duuh mbak tanya
temen saya aja. Dia yang mau makan..
Aku: *Ketawaaaaaaaaa
ngakak dalam hati. Emang enak. Dari tadi gak nganggep aku sih mbak. :p
Usut punya usut, aku
kembali tidak cocok dengan rasa mie ayamnya. Mie Yamie Panda namanya. Aaahh perutku
memang merakyat sekali. Kamu bully
aku habis-habisan. “Gimana makan masakan Itali kayak gini aja gak bisa masuk
perutmu?” kekehmu. Huh.. Aku cuma mendengus.
Tahukah kamu perlakuan
kamu itu sukses membuat pipiku semerah tomat. Kamu selalu mengembuskan angin
segar bagi hidupku. Dan sebagai seseorang yang pernah menetap di hatiku, aku
mengucapkan banyak terimakasih. Kamu tentu tahu alasannya apa. Iya, terkadang
kamu hadir tanpa disangka-sangka. But life must go on, right? Aku menyimpan
semua hal tentangmu sangat rapi. Kamu berhak menempati ruang di hati. Bukan sebagai
masa depanku. Tapi sebagai masalalu. ^_^

0 comments :
Posting Komentar